Cerpen Cinta Islami Ketika Hidayah Melambaikan Cinta
Media dakwah bil qolam yang mebahas tentang segala hal dalam pandangan islam
Oleh Fitriyan F
Kicau burung merpati mulai terdengar di telingaku. Tak sedikitpun aku bergerak dari tempatku berbaring. Tubuhku bagaikan terpaku di atas tempat tidurku. Namun suara adzan yang berkumandang membuatku terpaksa bangun.
Walaupun dalam benakku seberkas duka masih menyayat hatiku yang melemahkan sanubariku untuk menjalani hari di atas panggung hidup yang kejam . Ya, dunia ini memang kurasa sangat kejam, sejak kepergian kedua orangtuaku.
Tuhan tak pernah adil padaku. Garis hidupku selalu dipenuhi dengan kenyataan yang berat untuk aku jalani. Sudah seminggu aku pindah di malang, tinggal di kosan kecil yang bagiku sangat membosankan.
Sejauh ini semangatku tak juga bangkit, rasa malas hidup selalu mewarnai hari-hariku. Aku tersentak dari lamunanku, ketika kulihat jam menunjukkan pukul 7. 00 pagi. Padahal pukul 7. 30 aku harus sekolah, sejujurnya ingin rasanya aku berhenti sekolah, namun abangku bersikeras memaksaku, padahal aku sendiri belum tahu harus membiayai sekolah dengan uang darimana.
Suasana kelas sudah ramai, bersyukurlah aku tidak terlambat hari ini. Dalam benakku sama sekali tak berkeinginan untuk bertegur sapa dengan teman yang lain.
Tiba – tiba pandanganku tertuju pada sosok laki-laki berpeci hitam yang baru datang.
“Weh, ni orang apa salah kelas ya, inikan sekolah, bukan masjid” pikirku dalam hati.
Aku terus perhatikan laki-laki ini, wajahnya bersih, dan ketika datang ia bersalaman dengan teman laki-laki yang lain kemudian langsung duduk dan membaca buku. Sepertinya tak berniat sama sekali untuk menoleh ke arah pelajar putri yang lain, tak seperti laki-laki pada umumnya.
Pendatang dari mana dia tingkahnya aneh? Detikku dalam hati. Aku sedikit risih dan tidak menyukai orang-orang yang terlalu polos seperti Si pendiam ini. Menurutku orang-orang seperti ini munafik, pendiam tapi ternyata kurang ajar, seperti teman-temanku di Bali. Mereka tampak pendiam, ternyata suka main perempuan juga.
Hari ini Bu Marwati memberikan tugas bahasa, tampaknya aku satu kelompok dengan laki-laki aneh itu.
“Sepertinya kita tidak bisa menyelesaikan tugas ini sekarang. Nanti pukul 3 sore kita berkumpul di perpustakaan, kita bagi tugas agar lebih mudah kalian bisa kan?”
Tanya Andi membuka percakapan,
“Ya, kalau pukul 3 aku bisa tapi maaf agak terlambat nanti, karena
rumahku dari sekolah jauh” jawab Asrar. Sementara aku dan Si pendiam itu hanya diam. Aku belum lagi mendengar suaranya
“Fahri , kau bisa kan?”
Oh ternyata nama pendiam itu Fahri, pikirku dalam hati
“Ya insya Allah” jawabnya singkat dengan sedikit senyum mengembang dari bibirnya.
Siang itu, aku tertidur sangat lelap. Aku lupa kalau hari ini aku ada tugas dengan teman-teman di sekolah.
“Assalamualaikum, Fara. . ”
Sapa suara lembut dari ambang pintu. Aku tersentak kaget, dengan keadaan yang masih berantakan aku membuka pintu. Asrar kaget melihatku yang masih berantakan.
“Ya Allah Far, kamu belum siap lagi, , kita sudah terlambat ni, , teman-teman pasti sudah menunggu !”
Kata Asrar sedikit panik. Namun akhirnya dia tersenyum dan melanjutkan bicaranya
“Ya sudah kamu bersiap-siap dululah, , biar aku sms Andi, izin kalau kita terlambat sedikit, dia pasti maklum” Ujarnya tenang. Aku jadi merasa bersalah dan segera mandi, kemudian sholat ashar dengan kecepatan tinggi sekedar untuk menggugurkan kewajibanku.
Dengan kemeja dan celana jeansku aku bergegas keluar menghampiri Asrar. Ia agak tertegun melihat penampilanku. Mungkin dia agak risih, karena aku berbeda jauh dengannya yang menggunakan jilbab panjang dan pakaian yang sangat sopan.
Penampilannya yang seperti ustazah bagiku sangat kuno. Namun tanpa komentar apapun kami segera meluncur ke sekolah.
Aku tertegun sedikit melihat Fahri yang sudah sibuk menulis.
“Assalamualaikum, maaf kami terlambat” kata Asrar
“Lama berdandan ya? ” tanya Andi menatap kami sinis. Kami hanya tersenyum menyadari kesalahan kami. Kesalahan aku sebenarnya.
Selama diskusi, aku lumayan banyak memberikan pendapat, karena kebetulan sastra adalah pelajaran kesukaanku. Aku sedikit tertarik pada Fahri, semua pendapatnya begitu bagus, cara penyampaiannya juga sangat sopan dan tenang.
Tak seperti yang aku pikirkan, orang pendiam bukan berarti polos dan bodoh. Benarlah kata orang, jangan memandang seseorang hanya dari penampilannya saja.
Diskusi kami berakhir setelah magrib tiba. Ah, , lega rasanya bisa tidur nyenyak malam ini. Baru saja aku ingin kembali kerumah, Asrar begitu semangat mengajakku mampir ke rumahnya untuk sholat magrib.
Sejujurnya aku sangat malas, tapi aku merasa gak enak juga dengan Asrar, umur pertemanan kami baru sebulan, aku harus bisa menjadi teman yang menyenangkan untuk Asrar yang masih baru. Lagipula aku baru di Malang,
kalau kesan awal aku dengan teman-teman disini sudah ndak baik, gimana aku bisa mendapat teman. Dengan langkah malas dan sedikit senyum yang dipaksakan, aku menuruti saran Asrar.
Rumah mungil yang rapi, kesan pertamaku ketika sampai dirumah Asrar, Ternyata Asrar adalah anak dari keluarga Ustad, pantas saja penampilan dan tingkah lakunya bagaikan ustadzah, pergaulannya juga sangat terjaga.
Damai rasanya aku melihat keluarga Asrar yang sederhana namun penuh kasih sayang. Tiba-tiba aku tertarik melihat buku hijau diatas rak buku yang sampulnya bertuliskan “ Hijab is our identity ”
Tampaknya Asrar mengetahui aku berminat pada buku itu.
“Kamu mau pinjam buku ini?”
Tanyanya menawarkan. Aku tersenyum. Aku sendiri bingung, sebenarnya aku malas membaca buku-buku islami seperti itu, tapi entah kenapa kali ini aku begitu ingin membacanya.
“Ra, kenapa sih kita harus berjilbab? Padahal setahuku orang berjilbab itu belum tentu sifatnya baik, di Bali tempatku tinggal dulu, banyak orang berjilbab, tapi perilakunya sama saja dengan orang-orang yang ndak berjilbab, bahkan lebih buruk. ” Kataku polos.
Asrar masih tersenyum, tenang sekali wajahnya
“Jilbab itu bisa menjaga kehormatan kita Far, orang akan lebih hormat pada kita, dan memperkecil kemungkinan orang mau berbuat jahil pada kita. Coba kamu lihat orang-orang yang menggunakan pakaian yang mengumbar aurat, berjalan di depan kaum adam, pasti mereka akan menggoda dan tak jarang yang sampai dilecehkan.
Bandingkan dengan orang berjilbab, ketika mereka berjilbab rapi menutupi aurat, orang-orang mungkin hanya diam atau paling nggak mereka mengucapkan salam. Kita sebagai wanita muslim sebenarnya wajib menggunakan jilbab sama wajibnya dengan kita melaksanakan sholat atau puasa.
Itu perintah Allah yang harus kita kerjakan , dan mesti kita tahu, perintah Allah pasti mendatangkan manfaat, gak mungkin Allah memerintahkan hambanya untuk melakukan hal yang mendatangkan mudharat bagi kita”
“Allohuakbar allohuakbar. . . . . . . . !”
Adzan isya’ berkumandang menghentikan ucapan Asrar. Ia terdiam sejenak kemudian melanjutkan perkataannya
“Kalau kamu ingin tau lebih jauh, kamu baca saja buku itu, semoga mendapat hidayah, sekarang sudah adzan Isya’ ayo kita ke mushola”.
Kami beriringan berjalan ke mushola milik ayah Asrar. Aku tertegun ketika sampai di pintu mushola. Ternyata yang mengumandangkan adzan adalah Fahri. Suaranya begitu merdu dan membuatku begitu tenang, Beban yang ada di otakku terasa hilang.
Untuk pertama kalinya aku bisa sholat begitu nikmatnya, air mataku menetes seiring dibacakannya surah Al Fatihah ayat ke 5 oleh imam. Sujud dan rukuk, terasa nikmat, tenang, tentram, ada kedamaian yang menyelinap dalam diriku. Seusai sholat aku pamit pulang ke kost ku.
Malam masih begitu sunyi ketika aku terbangun dari mimpiku. Hanya terdengar suara angin yang berhembus menggoda pohon-pohon yang menari . Terbayang di benakku wajah Asrar yang begitu tenang dan penuturannya tentang jilbab.
Ah entah kenapa air mataku menetes jatuh. Dimana aku selama ini. Mengapa aku baru mengenal indahnya agamaMu Ya Allah. Aku beranjak dari tempat tidurku, berwudhu dan kemudian mencoba untuk sholat tahajud.
Ya Allah semoga aku masih ingat niat dan doanya yang pernah aku hafalkan waktu masih SMP dulu. “Bismillah”
Sholatku kali ini terasa lebih nikmat dari yang di mushola tadi. Aku merasa Dia begitu dekat, mengisi kekosongan jiwa ini. Andaikan aku merasakannya sejak dulu, pasti jiwaku lebih berisi. Aku mohon ampun padanya ditengah sujud dan doaku. Tak kusangka aku masih ingat do’a sholat tahajud.
Sudah tiga bulan aku sekolah di Malang, dan tiga bulan ini juga aku mengenakan jilbab, walaupun awalnya agak aneh tapi semakin lama aku semakin menikmati menggunakan jilbab dan pakaian yang tidak menampakkan aurat. Benarlah kata Asrar, aku merasa orang-orang lebih menghormati dengan pakaian ini.
Sesi perkenalan tidak formal antara aku dan Fahri juga semakin dekat. Aku tidak percaya, aku memiliki perasaan yang aneh pada Fahri.
Entah perasaan apa yang mengusik jiwaku. Yang jelas aku sering memperhatikannya di mushola, aku merasa senang melihatnya sholat dengan khusyuk nya. Tak jarang aku mampir kerumah Asrar sebelum magrib sekadar untuk mendengar suara adzan dari Fahri.
Sore itu seperti biasa kami berkumpul di perpustakaan untuk mendiskusikan tugas-tugas dari Bu Marwati. Namun aku tak melihat Fahri hari itu.
“Fahri kemana Ndi?” tanyaku pada Andi di sela-sela diskusi.
“Oh Fahri sedang ada urusan sebentar, katanya penting” ujar andi ringkas.
Aku terdiam sambil memperhatikan Asrar yang membaca buku Fahri. Entah kenapa aku ingin melihat buku itu.
“Eh Ra, itu buku Fahri?”
“Ya ini buku catatan tugas kita”
“Boleh aku lihat?”
“Ya kebetulan disana ada rencana kegiatan minggu depan, silahkan kamu baca”
Kata Asrar ramah. Aku membuka buku itu. Di bagian sampulnya tertulis rapi Nama Fahri Al Banna. Lalu aku membuka halaman depan
Tertulis rapi suatu kalimat yang membuat aku tertarik membacanya
“Ya Allah, Aku Memohon CintaMu, cinta orang yang mencintaiMu,
dan cinta akan perbuatan yang mendekatkanku pada CintaMU”
HR. Tirmidzi
Serentak darahku berdesir, Ya Allah Fahri sibuk mengejar cintaMu, sementara aku sibuk mengejar cintanya, maafkan aku ya Rabbi. Aku terharu dengan tulisan itu. Namun aku segera meletakkan buku fahri ketika ia tiba-tiba datang
“Assalamualaikum”
Suara lembut Fahri membuat kami semua menoleh ke arahnya. Wajahnya bersinar, tampak sisa air wudhu disana. Begitu tenang, dan matanya begitu teduh. Pandangan kami bertemu sesaat, Fahri langsung tertunduk
“Subhanallah, ia begitu menjaga pandangannya” pikirku dalam hati. Sementara aku, aku sibuk mengejar cinta Fahri sedangkan Fahri sibuk mengejar cinta Ilahi, tak pantas rasanya aku mengagumi sosok Fahri yang tingkat keimanan berbanding jauh dengan aku yang baru belajar dan mengenal agamaku sendiri.
Malam itu aku mengajak Asrar untuk keluar sekadar untuk ngobrol atau makan malam. Sebenarnya ada hal yang ingin aku bicarakan padanya. Seperti biasa ia menerima tawaranku dengan senyuman.
“Ra, kamu pernah jatuh cinta?” tanyaku memberanikan diri
“Cinta? Tentulah, sekarang pun aku sedang jatuh cinta” ujarnya santai sambil menikmati jagung bakar pinggiran. Aku agak aneh mendengar penuturan Asrar yang begitu aku hormati itu.
Aku tahu pergaulannya dengan lawan jenis sangat dibatasi dan terjaga, caranya menjaga auratnya juga sangat baik. Tapi jatuh cinta? Siapakah lelaki yang mampu menambat hatinya? Pikirku dalam hati.
“siapakah yang kau cintai itu Ra, mengapa tak pernah sedikitpun kau menceritakan tentang cintamu itu padaku?
“ya, , aku cinta Allah, cinta Rasul, Cinta pada ahlul bait, dan cinta pada orang tuaku saat ini. Cinta itu penting, bahkan Rasulullah ada mengajarkan kita untuk mendidik anak sejak kecil tentang cinta, pada Allah, Rasulullah dan ahlul baitnya” tutur nya santai
Benar juga apa yang dikatakan Asrar, aku terdiam sejenak, memberanikan diri untuk menanyakan Asrar tentang perasaanku.
“Kalau aku katakan saat ini aku sedang menyukai seorang laki-laki?”
Tanyaku agak ragu. Asrar masih tetap tenang sambil menghirup nafasnya dalam-dalam. Selalu saja matanya yang teduh membawa ketenangan dalam jiwaku.
“Kalau aku jadi kamu, terlebih dahulu aku bertanya pada diriku sendiri, apakah sudah cukup cintaku pada Allah, sehingga aku mencintai makhlukNya”
“Ya Ra, tapi bagaimana aku bisa menepis dan menghilangkan perasaan ku pada laki-laki itu?”
“Ra, cinta itu fitrah, semua orang normal juga pasti akan merasakan tertarik pada lawan jenisnya, tak ada manusia yang tak merasakan perasaan itu, tapi sekarang, sebagai seorang muslim, kita harus pandai mengendalikan perasaan itu.
Setan itu sangat pandai menyelinap kedalam hati manusia yang membuat cinta itu bernafsu, jangan sampai kita mencintai seseorang sampai melebihi cintaNya”
“Ya, , kamu benar Ra, lagipula dia laki-laki baik, dia bisa mencintai RabbNya dengan baik, sementara aku, ilmu agamaku masih belepotan, gak karuan”
“Bukan begitu Far, dalam Q. S An Nur Allah berfirman bahwa laki-laki baik itu untuk wanita baik-baik pula, dan sebaliknya. Kita perbaiki saja dulu akhlak kita, Insya Allah kalau udah jodoh gak akan kemana.
Kalau kamu benar-benar mencintainya, alangkah baiknya jika kamu meniru perbuatan baiknya. Jika dia laki-laki begitu mengabdikan dirinya pada Allah, kau juga bisa, tapi niatmu harus ikhlas, karena Allah, bukan karena laki-laki itu, kamu paham kan Far?”
Tak sanggup aku menjawab pertanyaan Asrar, aku hanya memalingkan wajah dan menahan air mataku, aku tak ingin Asrar melihat air mataku yang sudah tumpah ruah membanjiri jilbab yang aku kenakan.
Alangkah indahnya cinta dalam islam, alangkah terjaganya cinta dalam islam, sementara dulu aku hanya mengumbar cinta syahwat dengan mudahnya. Aku malu pada Allah, pada diriku sendiri, pada perbuatanku di masa lalu.
“Assalamualaikum Warohmatullah!”, , ucapan salam mengakhiri sholatku malam ini. Ucapan Asrar masih terngiang-ngiang di telingaku, “Laki-laki baik hanya untuk wanita baik”
Perlahan bayang Fahri menjauh dari pikiranku, seiring dengan istighfar yang aku ucapkan selesai sholat, hingga aku tertidur diatas sajadah.
***
Lanjut ke Cerpen CInta Islami Ketika Hidayah Melambaikan Cinta Part 2 akhir.
0 Response to "Cerpen Cinta Islami Ketika Hidayah Melambaikan Cinta"
Post a Comment